1.7.13

Kegelisahan

Aku terbangun, terpaksa bangun lebih tepatnya. Pukul 4:00 WIB. Dengan sigap aku mencoba berdiri, menahan keinginan untuk kembali terlelap ataupun sekedar menutup mata selama sedetik saja. Semua beban seperti menjadi suatu kumpulan besar yang siap meninju ketika menyangkut bangun di pagi hari. Mengulang rutinitas yang sama seperti layaknya menelan masakan tanpa suatu rempah apapun, hambar, jadi tak berselera. Ah, betapa inginnya aku menggulingkan realita menjadi sebuah bunga tidur yang bisa aku nikmati setiap waktu. Namun apa daya, ciptaan Tuhan tak akan mampu melebihi apa yang telah digariskan-Nya.

Satu-satunya hal yang bisa membuat raga menjadi siap tempur adalah dengan bilasan air. Mandi menjadi cara yang paling ampuh untuk menghilangkan kemalasan di pagi hari. Dilanjutkan dengan makan lalu bersiap-siap menata buku-buku pelajaran yang diperlukan hari itu. Memakai kaos kaki, sepatu dan akhirnya kaki pun siap untuk melangkahkan dirinya ke tempat keramat yang satu itu; sekolah.

Jalan masih lengang dan hanya segelintir kendaraan yang lalu lalang di jalan. Lampu-lampu kendaraan bermotor menjadi padam ketika raja langit mulai menampakan dirinya sedikit demi sedikit. Meskipun ia diberi gelar Raja, namun bukan berarti ia seorang yang angkuh. Dengan bijaknya, perlahan ia munculkan dirinya tanpa mau mengagetkan sekumpulan manusia-manusia di bawahnya. Lalu lambat laun, ia akan mulai memperlihatkan kekuasaannya dengan kekuatan teriknya yang mampu membakar kulit seputih salju menjadi umpama pantat panci. Ketika sudah lelah, ia akan kembali ke peraduannya dan memberikan sedikit dari kekuatannya untuk kawan akrabnya, si Purnama. Tanpa siapa pun sadari, Raja telah mengajarkan banyak makhluk lain untuk menjadi sosok yang kuat namun tetap rendah hati, menjadi sosok yang tak urung berbagi sinarnya dengan yang membutuhkan.

Mengamati banyak hal ketika dalam perjalanan mungkin menjadi kegemaran banyak orang, termasuk diriku sendiri. Menelaah lebih dalam tentang suatu makna yang tidak dapat dijelaskan oleh orang lain selain diri kita sendiri dan mengambil manfaatnya, merupakan hal yang jauh lebih menyenangkan dibandingkan memusatkan segala jiwa dan akal untuk sebuah soal fisika yang menjenuhkan hingga membuat segala semesta yang megah ini menjadi sekeruh limbah pabrik. Di saat pikiran kita melayang jauh, berpikir mengenai banyak hal yang mungkin orang lain belum sempat terpikirkan, rasanya seperti melesat jauh ke angkasa. Atau sebaliknya, seperti terjun bebas atau melayang-layang dari galaksi lain menuju bumi; bebas, lepas, tak tertahan apapun. Sulit untuk mendeskripsikannya, namun sensasi dari proses berpikir tersebut lekat dengan kata mengagumkan. Bagaimana kekuatan pikiran dapat mengubah diri kita dan orang-orang di sekitar kita merupakan hal yang tak pernah berhenti membuatku berdecak kagum.

Pagar sekolahku berwarna hijau tua dengan musholah yang lumayan besar di samping kiri yang akan langsung terlihat ketika pertama kali menjejakkan kaki disana. Lalu aku masuk, dan seperti biasa, suasana masih sepi sejauh apapun aku memandang. Kelas hanya berisi dua orang temanku yang memang menjadi sohibku ketika baru datang di pagi hari yang masih sunyi ini. Setelah agak lama, sedikit demi sedikit murid-murid lain akan mulai berdatangan dan mengobrol satu sama lain dengan teman dekatnya masing-masing. Dan di titik tersebut, aku merasa menjadi seorang yang linglung dan sangat kesepian. Di kala seluruh suara bising memenuhi kelas, aku menjadi satu-satunya manusia yang mungkin tidak merasakan suatu apapun yang hidup di dalam sana.

Aku bukan tipe anak yang senang menyendiri, aku bisa bergaul dan pandai dalam hal tersebut. Namun, ketika berurusan dengan teman dekat, aku menjadi seperti seorang yang ingin menjalani diet ketat; aku menjadi selektif. Aku selalu mencoba mencari kecocokan dan ketidakcocokan antara aku dengan orang lain. Mungkin aku termasuk orang yang terlalu banyak berpikir hingga semuanya akan berujung pada ketidakcocokan. Aku sulit untuk menemukan orang yang mampu memuaskan syarat-syaratku, hasilnya selalu nol besar. Kerap kali aku menyadari bahwa tidak akan ada orang yang bisa sempurna. Tetapi entah mengapa, aku selalu berpikir bahwa ketika seseorang tersebut memliki suatu ketidakcocokan denganku, maka itulah pertanda yang sangat jelas mengapa aku seharusnya tidak membuatnya menjadi teman dekatku.

Kebencianku terhadap kesepian membuatku mood-ku menjadi cepat berubah. Kadang kala, aku suka tidak mengerti apa yang sebenarnya aku inginkan, apa yang sebenarnya aku cari. Kesempurnaan kah? Aku sendiri tidak menahu. Semuanya terasa kurang untukku. Kesepian menjadi silet yang semakin lama semakin menyiksaku, seperti bumerang. Aku menyalahkan semua orang, keadaanku, segalanya, untuk mengurangi rasa kesepianku sendiri. Tapi, semuanya pada akhirnya hanya berbalik ke arahku, menerjangku tanpa ampun dan membuatku menjadi sehalus butir debu. Rasanya seperti ingin pensiun dari kehidupan saja kalau sudah begitu.

Setelah kira-kira pukul 7:00 WIB, pelajaran akan segera dimulai. Dan akan terus begitu hingga bel pulang sekolah pukul 14:15 WIB. Menjalani rutinitas yang membosankan, menjalani hari-hari yang berat. Rasanya selalu ingin memuntahkan segalanya. Aku butuh ember yang tepat, yang tidak terlalu besar atau terlalu kecil untuk menampung muntahanku yang abstrak dengan pahit manis hidup. Apa itu berwarna biru, merah, atau ungu sekalipun, aku tidak peduli. Andaikan hidup ini hanya mimpi yang selalu bisa dikendalikan setiap geraknya. Tanpa terkekang apapun, tanpa suatu masalah yang menyesakkan dada, tanpa rutinitas yang selalu menjemukan. Sayangnya, hidup ibarat lautan lepas yang tak kenal henti mengalir, sesekali mencipratkan gelombang yang seketika menelan segala di depannya menjadi rata tak menyisakan suatu apapun. Surut, dan akan kembali tanpa membisikkan pertanda pada siapapun.




12/04/2013

No comments:

Post a Comment